“Buktinya, mereka juga berkunjung ke Solo, dan tidak ada keributan,” kata Husnun yang juga pemimpin redaksi Malang Post.
Aremania sudah menunjukkan disiplin yang
sangat tinggi selama ini. Meski keanggotaan mereka sangat longgar dan
tidak terikat secara formal, tetapi mereka sangat terkendali. Mereka
dipimpin oleh koordinator wilayah (korwil) yang berada
di wilayah kecamatan atau desa dan RT.
Kepemimpinan ini sifatnya informal.
Biasanya tokoh informal setempat yang dianggap berwibawa yang diangkat
sebagai korwil. Pemimpin formal malah jarang diterima dan bahkan sering
dicurigai.
Secara sosiologis, Aremania banyak yang
berasal dari kelas marjinal. Beberapa di antaranya bersentuhan dengan
dunia premanisme. Beberapa juga mengkonsumsi minuman keras sebelum
menonton. Tetapi ketika mereka memakai atribut Aremania, disiplin mereka
begitu tinggi. Ketika seorang Aremania ketahuan melempar batu ke arah
lapangan, maka temannya sendiri yang meringkusnya. Itu juga yang terjadi
pada pertandinganMinggu.
“Disiplin mereka sangat tinggi,” kata
Didik Suwandi, arek Malang yang sekarang menjadi bos sepeda motor Kanzen
yang menjadi sponsor Arema.
Soal kreativitas, Aremania jagonya.
Mereka mengadaptasi berbagai jenis lagu untuk dijadikan lagu-lagu Arema.
Mulai dari lagunya Queen sampai lagu-lagu tradisional. Kutipan-kutipan
di spanduk terasa cerdas. Bahkan syair lagu Westlife pun mereka kutip di
spanduk: “When the skies are blue, I値l see you once again, my love.”
Sebelum pertandingan, mereka selalu
menggelar performing art. Pada pertandingan Minggu, mereka membawa kaus
hijau bertuliskan “Bonek, Virus Sepakbola Indonesia” lalu membakarnya.
Tetapi, satu hal yang patut dicontoh:
mereka selalu membuka show dengan menyanyikan “Padamu Negeri” bersama
sambil berdiri khidmat. Betul-betul sebuah pertunjukan rakyat yang
cerdas dan menggetarkan. (*)
Singgih Canggih, Aji Bertaji, Hasilnya: Juara
Awal-awal 1990-an, boleh disebut sebagai
masa keemasan Arema, pada era Galatama. Setidaknya, ada tiga prestasi
top yang diraih skuad Singo Edan saat itu. Yakni, membuat prestasi
sensasional dengan jadi juara Galatama, serta dua musim berturut-turut,
Singgih Pitono tampil sebagai top scorer.
TAK salah karenanya, pada era itu nama
Singgih Pitono sering disebut jadi bintang di antara bintang Singo Edan.
Penyerang berpostur ceking yang waktu masih jaya sering berambut
gondrong itu, bukan saja bisa jadi andalan Arema untuk urusan mencetak
gol. Namun, dia juga mampu mengungguli striker-striker top di tanah air
waktu itu, dengan tampil sebagai pencetak gol terbanyak.
Hebatnya, pemain kelahiran Ngunut,
Tulungagung, 34 tahun lalu itu, jadi top scorer berturut-turut dalam dua
musim. Yakni, pada Galatama XI musim 1990/1992 dengan mencetak 21 gol,
dan musim XII 1992/1993 (16 gol). Singgih sekaligus meneruskan kejayaan
striker Arema lainnya, Micky Tata yang jadi top scorer Galatama musim
IX. 1988/1999.
Kepantasan Singgih jadi bintang bertambah, setelah namanya masuk dalam
daftar pemain yang dipanggil PSSI untuk seleksi tim nasional yang bakal
dikirim ke SEA Games 1991. Namun, pemain yang punya lari kencang dan
tendangan akurat ini, tak lolos seleksi. Dua tahun berikutnya, dia
kembali dipanggil seleksi timnas. Tapi, kembali Singgih gagal.
Nah, pada masa itu malah rekan se-tim
Singgih Aji Santoso yang sukses bergabung timnas. Pemain asal Kepanjen
ini, bahkan sudah mencatatkan namanya sebagai pemain nasional sejak
1990, saat usianya belum genap 20 tahun. Bahkan, boleh dibilang, jika
ukurannya prestasi di timnas dan karir, pemain yang kini menjadi kapten
Persema Malang United ini adalah bintang Arema yang paling moncer. Tidak
kurang sebelas tahun, Aji terus masuk timnas (1990-2000). Selain itu,
lewat permainannya yang ekselen, dia pun jadi rebutan klub-klub besar.
Saat meninggalkan Arema pada 1996, Aji pindah ke Persebaya. Berikutnya,
dia membela PSM Makassar, sebelum kini bergabung Persema.
Nah, dengan Singgih yang tengah
canggih-canggihnya dalam mencetak gol, Aji yang mulai unjuk gigi, Arema
menapak ke puncak prestasi: jadi juara kompetisi Galatama musim XII,
1992/1993. Tentu bukan cuma Aji dan Singgih saja yang berperan besar
saat itu. Di tim juara itu, masih ada libero andal Imam Hambali sebagai
kapten tim, didukung bek Joko Slamet, Jamrawi dan Andik. Lalu, di tengah
Jonathan dan Dominggus Norwenik punya partner baru, Maryanto, yang
sempat jadi pemain amatir terbaik saat masih memperkuat Persema (para
era Perserikatan). Pada saat itu juga muncul pemain muda Kuncoro dan
Joko Susilo yang keduanya kini masih main bersama Arema. Selain itu,
juga ada Harry Hunter Sieswanto, dan Mahmudiana. Pemain yang terakhir
ini, menurut Eko Subekti -salah satu ofisial tim Arema saat itu-adalah
spesialis gelandang pengganti. “Tapi, dia pemain pengganti dengan
kualitas nomor satu,” jelasnya. Sedangkan di belakang gawang, ada Nanang
Hidayat sebagai kiper utama, dengan cadangan Ahmad Yono dan Sukriyan.
Tim juara itu pada awalnya dilatih M Basri. Namun, menjelang kompetisi
musim XII itu ber**, Basri malah mundur. Akhirnya, saat- saat menuju
juara itu, Gusnul Yakin-lah yang menjadi pelatih.
Sayangnya, catatan juara pada musim
1992/1993 itu seolah jadi klimaks. Pasalnya, pada musim berikutnya,
prestasi Arema melorot drastis. Pada musim XIII, 1993/1994 yang juga
menjadi kompetisi Galatama terakhir (sebelum diubah format menjadi Liga
Indonesia), arek-arek Singo Edan dengan materi yang sama, tenggelam.
Pada musim XIII itu, kompetisi dibagi dalam dua wilayah. Arema ada di
wilayah timur dengan delapan tim peserta. Payahnya, Arema hanya mampu
finish di peringkat enam dari delapan tim peserta itu. (Share :
AREMANIA NGALAM)